Jumat, 25 September 2009

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL


Pembahasan dalam bab ini bertujuan untuk memahami Pancasila sebagai ideologi, yang meliputi sebagai berikut.
a. Pengertian ideologi.
b. Makna ideologi bagi negara.
c. Perbandingan ideologi Pancasila dengan ideologi lain (liberalisme dan sosialisme).
d. Pancasila sebagai ideologi terbuka.

A. PENGERTIAN IDEOLOGI
1. Arti Ideologi
Ideologi adalah gabungan dari dua kata majemuk idea dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani eidos dan logos. Secara sederhana ideologi berarti suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-dalamnya dan merupakan pemikiran filsafat. Dalam arti kata luas istilah ideologi dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam artian ini ideologi disebut terbuka. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Dalam artian ini disebut juga ideologi tertutup. Kata ideologi sering juga dijumpai untuk pengertian memutlakkan gagasan tertentu, sifatnya tertutup di mana teori-teori bersifat pura-pura dengan kebenaran tertentu, tetapi menyembunyikan kepentingan kekuasaan tertentu yang bertentangan dengan teorinya. Dalam hal ini ideologi diasosiasikan kepada hal yang bersifat negatif.
Ideologi juga diartikan sebagai ajaran, doktrin, teori, atau ilmu yang diyakini kebenarannya, yang disusun secara sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Bahan Penataran BP-7 Pusat, 1993). Suatu pandangan hidup akan meningkat menjadi suatu falsafah hidup, apabila telah mendapat landasan berpikir maupun motivasi yang lebih jelas, sedangkan kristalisasinya kemudian membentuk suatu ideologi. Keterikatan ideologi dengan pandangan hidup akan membedakan ideologi suatu bangsa dengan bangsa lain.
Dalam praktek orang menganut dan mempertahankan ideologi karena memandang ideologi itu sebagai cita-cita, ideologi merumuskan cita-cita hidup. Oleh sebab itu, menurut Gunawan Setiardja (1993) ideologi dapat dirumuskan sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas, yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Ideologi berada satu tingkat lebih rendah dari filsafat. Berbeda dengan filsafat, yang digerakkan oleh kecintaan kepada kebenaran dan sering tanpa pamrih apapun juga, maka ideologi digerakkan oleh tekad untuk mengubah keadaan yang tidak diinginkan, menuju ke arah keadaan yang diinginkan. Dalam ideologi sudah ada suatu komitmen, sudah terkandung wawasan masa depan yang dikehendaki dan hendak diwujudkan dalam kenyataan.
Jika filsafat merupakan kegemaran dan sebagian kecil orang saja, karena memang tidak semua orang mempunyai kecenderungan pribadi mencari kebenaran tertinggi itu, maka ideologi diminati oleh lebih banyak manusia. Menurut Edward Shils (lihat BP-7 Pusat, 1991: 382-384), salah seorang pakar mengenai ideologi, jika manusia sudah mencapai taraf perkembangan intelektual tertentu, maka kecenderungan menyusun ideologi ini merupakan suatu ciri dasar kemanusiaannya. Manusia sebagai makhluk berpikir akan selalu semakin cerdas dan semakin terdidik sebagai warga masyarakat, semakin meningkat kebutuhannya akan wawasan ideologi. Oleh karena itu, ideologi merupakan wawasan yang hendak diwujudkan, maka ideologi selalu berkonotasi politik. Ideologi hampir selalu bersumber dari nilai-nilai filsafat yang mendahuluinya dan menghubungkannya dengan politik yang menangani dunia nyata yang hendak diubah. Politik, yang juga bisa diterjemahkan sebagai kebijakan, menyangkut asas serta dasar bagaimana mewujudkan ideologi itu ke dalam kenyataan, khususnya dengan membangun kekuatan yang diperlukan, serta untuk mempergunakan kekuatan itu untuk mencapai tujuan.
Dewasa ini ideologi telah menjadi suatu pengertian yang kompleks. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan terjadinya pembedaan yang makin jelas antara ideologi, filsafat, ilmu, dan teologi. Ideologi dipandang sebagai pemikiran yang timbul karena pertimbangan kepentingan. Di dalam ideologi orang tidak mempermasalahkan nilai kebenaran internalnya. Ideologi dipandang sebagai belief system, sedangkan ilmu, filsafat, ataupun teologi merupakan pemikiran yang bersifat refleksif, kritis, dan sistematik, di mana ruertimbangan utamanya adalah kebenaran pemikiran. Karena perbedaan itu teologi disebut sebagai suatu sistem pemikiran yang sifatnya tertutup arka, 1985: 372).
Dalam perkembangan itu ideologi mempunyai arti yang berbeda. Pertama, ideologi diartikan sebagai weltanschuung, yaitu pengetahuan yang mengandung pemikiran-pemikiran besar, cita-cita besar, mengenai sejarah, manusia, masyarakat, negara (science of ideas). Dalam pengertian ini kerap kali ideologi dfaamakan artinya dengan ajaran filsafat. Kedua, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang tidak memperhatikan kebenaran internal dan kenyataan iafcipiiis, ditujukan dan tumbuh berdasarkan pertimbangan kepentingan tertentu dbn karena itu ideologi cenderung menjadi bersifat tertutup. Ketiga, ideologi dfovtikan sebagai suatu belief system dan karena itu berbeda dengan ilmu, filsafat, jiaupun teologi yang secara formal merupakan suatu knowledge system (bersifat refeksif, sistematis, dan kritis).

2. Pancasila sebagai Ideologi Nasional
Ideologi adalah istilah yang sejak lama telah dipakai dan menunjukkan Sieb-erapa arti. Semua arti itu menurut Destutt de Tracy pada tahun 1796, memakai istilah ideologi dengan pengertian science of ideas, yaitu suatu program diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Francis. Namun, Napoleon mencemoohkan sebagai khayalan belaka yang tidak arti praktis. Ideologi semacam itu adalah impian semata yang tidak akan ditemui kenyataan riil. Namun demikian, ideologi mempunyai arti orientasi ; menempatkan seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam mengatasi ini ideologi mempunyai pandangan tentang alam, masyarakat, manusia, dan segala realitas yang dijumpai serta dialami semasa hidupnya.
Terdapat empat tipe ideologi (BP-7 Pusat, 1991: 384), yaitu sebagai berikut.
a. Ideologi konservatif, yaitu ideologi yang memelihara keadaan yang ada (statusquo), setidak-tidaknya secara umum, walaupun membuka kemungkinan perbaikan dalam hal-hal teknis.
b. Kontra ideologi, yaitu melegitimasikan penyimpangan yang ada dalam masyarakat sebagai yang sesuai dan malah dianggap baik.
c. Ideologi reformis, yaitu berkehendak untuk mengubah keadaan.
d. Ideologi revolusioner, yaitu ideologi yang bertujuan mengubah seluruh sistem nilai masyarakat itu.
Suatu ideologi yang sama dalam perjalanan hidup yang cukup panjang biasa berubah tipe. Ideologi komunis yang pernah bersifat revolusioner sebelum rerkuasa, menjadi sangat konservatif setelah para pendukungnya bekisah perjalanan sejarah Pancasila sebagai ideologi mengandung sifat reformis dan revolusioner.
Kita mengenal berbagai istilah ideologi, seperti ideologi negara, ideologi bangsa, dan ideologi nasional. Ideologi negara khusus dikaitkan dengan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan negara. Sedangkan ideologi nasional mencakup ideologi negara dan ideologi yang berhubungan dengan pandangan hidup bangsa. Bagi bangsa Indonesia, ideologi nasipnalnya tercermin dan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Ideologi nasional bangsa Indonesia yang tercermin dan terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah ideologi perjuangan, yaitu yang sarat dengan jiwa dan semangat perjuangan bangsa untuk mewujudkan negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur (Bahan Penataran. BP-7 Pusat, 1993).
Dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 terkandung motivasi, dasar, dan pembenaran perjuangan (kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan bertentangan dengan perikemanusiaan darvperikeadilan). Alinea kedua mengandung cita-cita bangsa Indonesia (negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur). Alinea ketiga memuat petunjuk atau tekad pelaksanaannya (menyatakan kemerdekaan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa). Alinea keempat memuat tugas negara/tujuan nasional, penyusunan undang-undang dasar, bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan dasar negara Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok-pokok pikiran yang dijiwai Pancasila, dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945. Dengan kata lain, pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu tidak lain adalah Pancasila, yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal dari Batang Tubuh UUD 1945.
Pembukaan UUD 1945 memenuhi persyaratan sebagai ideologi yang memuat ajaran, doktrin, teori, dan/atau ilmu tentang cita-cita (ide) bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya dan disusun secara sistematis serta diberi petunjuk pelaksanaannya (BP-7 Pusat, 1993).
Pancasila sebagai ideologi nasional dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum, dan negara Indonesia, yang bersumber dari kebudayaan Indonesia.

B. MAKNA IDEOLOGI BAGI NEGARA
Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan. Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila perlu dipahami dengan latar belakang konstitusi proklamasi atau hukum dasar kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, serta Penjelasan UUD 1945.
Pancasila bersifat integralistik, yaitu paham tentang hakikat negara yang dilandasi dengan konsep kehidupan bernegara. Pancasila yang melandasi Itehidupan bernegara menurut Supomo adalah dalam kerangka negara imtegralistik, untuk membedakan paham-paham yang digunakan oleh pemikir fcenegaraan lain. Untuk memahami konsep Pancasila bersifat integralistik, maka loiebih dahulu kita harus melihat beberapa teori (paham) mengenai dasar jnegara, yaitu sebagai berikut.



1. Teori Perseorangan (Individualistik)
Sarjana-sarjana yang membahas teori individualistik adalah Herbert Spencer •.''520-1903) dan 'Herald J. Laski (1893-1950). Pada intinya, menurut teori ini, Tiesara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun.atas kontrak antara r&Iuruh orang dalam masyarakat itu (social contrac). Hal ini mempunyai pengertian bahwa negara dipandang sebagai organisasi kesatuan pergaulan iraiup manusia yang tertinggi. Dengan semangat renaissance, manusia telah nenemukan kembali kepribadiannya. Manusia sebagai individu hidup bebas izn merdeka, tidak ada yang di bawah oleh orang lain, semua dalam kedudukan iin taraf yang sama. Individu itu selalu hendak menonjolkan din sebagai aku. Dsa pusat kekuasaan dan selalu berusaha memperbesar kekuasaannya. Oleh karena itu, individu saling berhadapan, senantiasa mengadu tenaga dalam perebutan kekuasaan (Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1983). Negara iqpandang sebagai hasil perjanjian masyarakat (social contract) dari individu-iadi\-idu yang bebas, sehingga hak-hak orang seorang (hak asasi) adalah lebih trnggi kedudukannya daripada negara yang merupakan hasil bentukan xadi\*idu-individu bebas tersebut.
Cara pandang individualistis ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Soepomo dalam rapat BPUPKI, tidak kita pilih atau tidak kita ikuti. Cara pandang xmiividualistis ini mendapat pertentangan di dalam sejarah kenegaraan di Eropa kelompok sosialis - komunis yang di pelopori oleh Marx, Engels, dan Lenin.

2. Teori Golongan (Class Theory )
Teori ini diajarkan, antara lain oleh Karl Marx (1818-1883). Menurut Karl Marx, negara merupakan penjelmaan dari pertentangan-pertentangan kekuatan ffonomi. Negara dipergunakan sebagai alat oleh mereka yang kuat untuk isenindas golongan ekonomi yang lemah. Yang dimaksud dengan golongan fionomi yang kuat adalah mereka yang memiliki alat-alat produksi. Negara aican lenyap dengan sendirinya kalau dalam masyarakat sudah tidak ada lagi perbedaan kelas dan pertentangan ekonomi (Soehino, 1986: 133). Menurut Marx, nes^ra terjadi dalam sejarah perkembangan masyarakat yang meliputi tiga fase, saitu fase borjuis, fase kapitalis, dan fase sosialis-komunis.

3. Teori Kebersamaan (Integralistik) ?
Teori integralistik semula diajarkan oleh Spinoza, Adam Muhler, dan lain-lain yang mengemukakan bahwa negara adalah suatu susunan masyarakat yang integral di antara semua golongan dan semua bagian dari seluruh anggota masyarakat. Persatuan masyarakat itu merupakan persatuan masyarakat yang organis.
Dari segi integritas antara pemerintah dan rakyat, negara memikirkan penghidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya, negara menyatu dengan rakyat dan tidak memihak pada salah satu golongan dan tidak pula menganggap kepentingan pribadi yang lebih diutamakan, melainkan kepentingan dan keselamatan bangsa serta negara sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Soepomo menganggap teori integralistik paling sesuai dengan bangsa Indonesia yang masyarakatnya beraneka ragam. Juga secara kenyataan, teori ini telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia semenjak dahulu di desa-desa, seperti kebiasaan pemimpin yang selalu bermusyawarah dengan rakyatnya. Hal ini lebih tegas dinyatakan dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa negara mengatasi segala paham golongan dan segala paham perseorangan serta menerima paham negara persatuan. Alinea ketiga menyatakan bahwa negara adalah suatu keadaan kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Negara dalam cara pandang integralistik Indonesia, tidak akan memiliki kepentingan sendiri (kepentingan pemerintah) terlepas atau bahkan bertentangan dengan kepentingan orang-orang (rakyat), di dalam negara semua pihak mempunyai fungsi masing-masing dalam suatu kesatuan yang utuh yang oleh Prof. Supomo disebutkan sebagai suatu totalitas. Kesatuan atau integritas yang di cita-citakan dalam UUD 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR tentangGBHN.
Pancasila bersifat integralistik karena:
a. mengandung semangat kekeluargaan dalam kebersamaan,
b. adanya semangat kerja sama (gotong royong),
c. memelihara persatuan dan kesatuan, dan
d. mengutamakan musyawarah untuk mufakat

C. PERBANDINGAN IDEOLOGI PANCASILA DENGAN IDEOLOGILAIN
Pancasila berbeda dengan ideologi-ideologi lainnya, seperti kapitalisme dan komunisme. Kedua ideologi ini telah terlebih dahulu lahir sebagai pemikiran filosofis, yang kemudian dituangkan dalam rumusan ideologi dan setelahnya baru diwujudkan dalam konsep-konsep politik. Jangka waktu yang dilalui keseluruhan proses ini bias sampai puluhan tahun. Manifesto komunis, misalnya diumumkan pada tahun 1841 sebagai pernyataan ideologis dari falsafah Marxisme. Konsep politiknya diwujudkan pada tahun 1917, dalam Revolusi Oktober di Rusia. Ada jarak waktu selama 76 tahun antara ideologi dan politik. Kapitalisme, yang lahir lebih dahulu, menjalani proses yang lebih panjang. Rangkaian pemikir falsafah menyampaikan hasil renungannya terlebih dahulu, yang kemudian diwujudkan dalam tatanan hidup bernegara.
Proses yang dilalui Pancasila sedikit khusus, praktis sebelum ada pemikiran filosofis sebelum tahun 1945 yang secara sistematis menguraikan pemikirannya secara mendalam mengenai ideologi untuk negara yang hendak dibentuk, pemikiran mengapa kita merdeka, tetapi belum ada wawasan terpadu mengenai bagaimana konsepsi masa depan yang hendak dibangun itu. Pemikiran demikian baru timbul setelah para pemimpin kita bermusyawarah secara intensif di penghujung Perang Dunia ke II, secara eksplisit oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman: Apa dasar negara yang hendak kita bentuk? Pertanyaan itu dijawab dengan mencari nilai-nilai dasar yang sama dalam kemajemukan budaya masyarakat kita. Dengan demikian, penerimaan Pancasila pertama-tama dirumuskan sebagai konsensus politik, yang didasarkan kepada nilai kultural masyarakat (BP-7 Pusat, 1991: 385).



1. Ideologi Liberalisme
Inggrislah yang memulai timbulnya liberalisme yang diakibatkan oleh alam pemikiran yang disebut zaman pencerahan (aufklarung) yang menyatakan bahwa manusia memberikan penghargaan dan kepercayaan besar pada rasio. Rasio dianggap sebagai kekuatan yang menerangi segala sesuatu di dunia ini. Manusia bisa berbuat banyak berdasarkan rasio yang dimilikinya. Zaman yang dihadapi oleh masyarakat pada abad ke-18 adalah zaman yang benar-benar membuka pintu baru yang memungkinkan manusia bisa memperoleh kehidupan yang sama sekali baru.
Pengertian baru bukan hanya bidang ekonomi dan politik, tetapi juga dalam pemikiran dan seluruh sistem yang ada dalam kehidupan abad ke-19 dan selanjutnya. Liberalisme akan membawa suatu sistem, yaitu kapitalisme. Liberalisme melihat manusia sebagai makhluk bebas. Kebebasan manusia merupakan milik yang sangat tinggi dengan membawa unsur-unsur esensial, yaitu rasionalisme, materialisme, dan empirisme, serta individualisme.
Ajaran liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang melekat pada manusia sejak ia lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun termasuk penguasa, kecuali dengan persetujuannya. Hak asasi tersebut memiliki nilai-nilai dasar (intrinsic), yaitu kebebasan dan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan individu secara mutlak, yaitu kebebasan mengejar kebahagiaan hidup di tengah-tengah kekayaan materiil yang melimpah dan dicapai dengan bebas. Ancaman dari paham liberalisme hampir tidak dapat digolongkan dalam uraian sejarah sebagaimana tergambar dalam ancaman golongan komunis.
Ancaman liberalisme sangat terselubung dan secara tidak sadar dapat tertanam dalam cara berpikir dan bertindak masyarakat tertentu di Indonesia. Paham liberalisme selalu mengkaitkan aliran pikirannya dengan hak asasi manusia yang menyebabkan paham tersebut memiliki daya tarik yang kuat di kalangan masyarakat tertentu.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila yang memandang manusia sebagai makhluk Tuhan, yang mengemban tugas sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial sehingga dalam kehidupan bermasyarakat wajib menyelaraskan kepentingan pribadinya dengan kepentingan masyarakat dan haknya selalu dikaitkan dengan kewajibannya terhadap masyarakat (lihat Bahan Penataran. BP-7 1993: 73-74).

2. Ideologi Sosialisme :
Tokoh utama yang mengajarkan komunisme adalah Karl Marx (1818-1883), tokoh sosialis revolusioner yang banyak menulis naskah di bidang sosial dan ekonomi. Ajaran Marx kemudian ditambah dengan pandangan Engels dan Lenin, sehingga ajaran komunis melandaskan pada teori Marxisme -Leninisme. Ajaran komunis didasarkan atas kebendaan. Oleh karena itu, komunisme tidak percaya kepada Tuhan. Bahkan agama dikatakannya sebagai racun bagi masyarakat. Ajaran tersebut jelas bertolak belakang dengan ajaran Pancasila.
Masyarakat komunis tidak bercorak nasional, masyarakat yang dicita-citakan komunis adalah masyarakat komunis dunia yang tidak dibatasi oleh kesadaran nasional. Hal ini tercermin dari seruan Marx yang terkenal: "Kaum buruh di seluruh dunia bersatulah". Komunis juga menghendaki masyarakat tanpa nasionalisme. Secara tegas menyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu yang fundamental. Bukan nasionalisme yang sempit, tetapi nasionalisme yang dijiwai oleh kemanusiaan yang adil dan beradab.
Masyarakat komunis masa depan adalah masyarakat tanpa kelas, yang dianggap akan memberikan suasana hidup yang aman dan tenteram dengan tidak adanya hak milik pribadi atas alat produksi dan hapusnya pembagian kerja. Perombakan masyarakat manurut ajaran komunis hanya mungkin dilakukan oleh kaum proletar dengan jalan mengadakan revolusi. Setelah revolusi berhasil, maka kaum proletar sajalah yang akan memegang tampuk pimpinan pemerintahan dan menjalankan pemerintahan secara diktator yang mutlak (diktator proletar).

D. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
1. Arti Ideologi Terbuka
Ciri khas ideologi terbuka ialah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak idnpaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, >ral, dan budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus syarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam syarakat sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua nfcyat, masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Ideologi terbuka bnkan hanya dapat dibenarkan melainkan dibutuhkan. Nilai-nilai dasar menurut pandangan negara modern bahwa negara modern hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasarnya.
Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan petkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu, sebenarnya terdapat dalam Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan, "Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukumdasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuatnya, mengubahnya, dan mencabutnya."
Selanjutnyadinyatakan, "Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para penyelenggara semangat para pemimpin pemerintahan."
Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber atau berakar pada pandangan kcup bangsa dan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, ideologi tersebut dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kicerdasan kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu prasyarat bagi suatu lieologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang diimpor, yang akan bersifat tidak wi-ar (artifisial) dan sedikit banyak memerlukan pemaksaan oleh kelompok leal manusia (yang mengimpor ideologi tersebut). Dengan demikian, ideologi lersebut disebut bersifat tertutup.
Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, aeringga memenuhi prasyarat suatu ideologi terbuka. Sekalipun suatu ideologi it: bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa jehingga dapat memusnahkan atau meniadakan ideologi itu sendiri, hal mana rakan suatu yang tidak nalar. Suatu ideologi sebagai suatu rangkuman gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa kontradiksi atau saling nerrentangan dalam aspek-aspeknya, pada hakikatnya berupa suatu tata nilai, i mana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ihwal buruk baiknya sesuatu, dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan (Padmo Wahyono, 1991.: 39-40)




2. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila (BP-7 Pusat, 1993), adalah sebagai berikut.
a. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat.
b. Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan beku cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
c. Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
d. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional. :
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern, i Kita mengenai ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai dengan keadaan, dan nilai praksis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma-norma dasar I Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai J atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah, karena itu adalah pilihan dan hasil konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental (Staatsfundamentealnorm).Perwu]udar\ atau pelaksanaan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai praksis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama I dengan nilai dasarnya.
-

3. Sifat Ideologi
Kebenaran pola pikir seperti terurai di atas adalah sesuai dengan sifat ideologi yang memiliki tiga dimensi penting (BP-7 Pusat, 1993) sebaga berikut.
a. Dimensi Realitas
Nilai-nilai yang terkandung di dalam dirinya, bersumber dari nilai-nila riil yang hidup dalam masyarakat, sehingga tertanam dan berakar di dala masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir, sehingga mereka bet betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah mil mereka bersama. Dengan begitu nilai-nilai dasar ideologi itu tertanam da berakar di dalam masyarakatnya. Menurut pandangan Alfian (BP7 Pusat 1991:192) Pancasila mengandung dimensi realita ini di dalam dirinya.

b. Dimensi Idealisme
Mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cita-cita tersebut berisi harapan yang masuk akal, bukanlah lambungan angan-angan yang sama sekali tidak mungkin direalisasikan. Oleh karena itu, dalam suatu ideologi yang tangguh biasanya terjalin berkaitan yang saling mengisi dan saling memperkuat antara dimensi realita dan dimensi idealisme yang terkandung di dalamnya. Logikanya, Pancasila bukan saja memenuhi dimensi kedua dari suatu ideologi, tetapi sekaligus juga memenuhi sifat keterkaitan yang saling mengisi dan saling memperkuat antara dimensi pertama (dimensi realita) dengan dimensi kedua (dimensi idealisme).

c. Dimensi Fleksibilitas
Melalui pemikiran baru tentang dirinya, ideologi itu mempersegar dirinya, memelihara, dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu. Dari itu dapat kira disimpulkan bahwa suatu ideologi terbuka, karena bersifat demokratis, memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai dinamika internal yang mengandung dan merangsang mereka yang meyakininya untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru tentang dirinya tanpa khawatir atau menaruh curiga akan kehilangan hakikat dirinya. Melalui itu kita yakin bahwa relevansi ideologi kita akan makin kuat, jati dirinya akan makin mantap dan berkembang. Sejalan dengan itu kita yakini bahwa pancasila memiliki dimensi ketiga, yaitu dimensi ffeksibelitas atau dimensi pengembangan, yang juga diperlukan oleh suatu ideologi guna memelihara dan memperkuat relevansinya dari masa ke masa (Alfian, 1991: 195).
4. Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila
Sungguhpun demikian, keterbukaan ideologi Pancasila ada batas-batas yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut.
a. Stabilitas nasional yang dinamis.
b. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme.
c. Mencegah berkembangnya paham liberal.
d. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat.
e. Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar